MASIH banyak warga DKI Jakarta yang belum mengetahui – apalagi memahami – Peraturan Daerah (Perda) No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum). Padahal perda yang disahkan DPRD DKI pada 15 Oktober 2007 itu, sudah diterapkan dan memakan banyak “korban” dalam bentuk penggusuran, penangkapan para gelandangan, pengemis, dan pedagang kaki-lima.
Perda No 8/2007 adalah aturan hukum yang dibuat untuk tujuan menertibkan, membersihkan, membikin aman dan nyaman Jakarta. Tidak banyak yang terlibat dalam penyusunan perda ini – baik bentuk partisipasi publik maupun dari akademisi. Sehigga ketika perda yang dimaksudkan untuk mengganti Perda No.11/1988 ini disahkan, bertubi-tubi protes penolakan dilontarkan masyarakat. Banyak pasal Perda Tibum dikritisi, terutama lantaran sifatnya yang terkesan “memerangi dan memusuhi orang miskin di Jakarta”.
Namun Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memilih mengabaikan protes tersebut dan jalan terus. Mungkin karena pembuatan Perda Tibum dilandasi niat dan semangat untuk mengajak berubah, menjadikan: … keadaan di mana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara tertib dan teratur …melakukan kegiatan secara tenteram dan nyaman - Bab I pasal 1 (5 dan 6). Persoalannya seberapa jauh Perda 8/2007 Tibum DKI dapat efektif mengatur masyarakat Jakarta yang heterogen, padat, semrawut dengan ditingkahi tingginya tingkat kerawanan sosial?
Kontroversi
Efektivitas sebuah hukum sebagai instrumen perubahan, menurut William Evan, harus otoritatif. Hukum harus mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan dan mempunyai wibawa alat penegak aturan.
Ketika Perda 8/2007 tentang Tibum diundangkan dan disosialisasikan, tudingan bahwa perda tersebut sebagai alat pemerintah untuk menggusur dan menghilangkan warga miskin di Jakarta lebih mengemuka ketimbang tujuan yang tersurat. Walhasil Perda Tibum DKI menuai kontroversi, diperparah dengan belum pahamnya banyak masyarakat secara utuh atas keberadaan aturan baru itu.
Sebagai contoh sebut misalnya pasal 40, berbunyi:
Setiap orang atau badan dilarang: (a) menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil, (b) menyuruh orang lain lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil, (c) membeli kepada pedagang asongan atau memberikan dsejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.
Pasal ini kalau dicermati sulit diimplementasikan dengan konsekwen dan konsisten dalam kehidupan keseharian di Jakarta. Sebab saban waktu – siang maupun malam -- dapat kita saksikan para pengemis, pedagang asongan dan pengamen beraktivitas “menantang” larangan perda di perempatan jalan (traffic light) maupun di kendaraan angkutan umum. Kegiatan itu sudah menjadi bagian denyut warga Jakarta yang berjuang untuk hidup. Tak mudah melarang apalagi menangkap , di tengah sempitnya peluang kerja saat ini.
Menurut CJ M Schuyt bahwa keadilan tanpa efektivitas bukanlah keadilan, maka pada saat itulah sebenarnya Perda Tibum telah kehilangan kemampuannya untuk mencapai tujuan. Penegasan ini dapat menggambarkan sekilas bahwa perda menjadi sulit digunakan sebagai alat legal yang dipatuhi masyarakat. Sebab kalau sejak mula perda dipahami sebagai diskriminatif, bagaimana mungkin bisa merengkuh apa yang disebut keadilan?
Ujung-ujungnya perda yang sudah bersifat represif ini akhirnya diterapkan dengan pendekatan kekuasaan. Dengan dalih atas nama aturan, aparat memorakporandakan pedagang kakilima, mengangkut barang-barang dagangannya dan meninggalkan mereka meratap, menangis, lantaran hilang sudah mata pencarian satu-satunya. Alih-alih bermaksud mengubah budaya tertib warga Jakarta, yang dapat malah kecaman.
Memang hukum merupakan salah satu instrumen perubahan. Tapi menurut Joel F Handler, ada banyak syarat. Diantaranya adalah peran birokrasi – dia dapat menghambat atau mempermudah pelaksanaan tujuan perubahan sosial.
Wajah Perda 8/2007 – suka tidak suka – adalah cermin birokrasi Pemprov DKI Jakarta. Dengan sifatnya yang represif ditambah masih adanya kesenjangan informasi diantara berbagai pihak yang terkait dengan upaya penaatan dan penegakan hukum, perda yang berusia seumur jagung ini membutuhkan kerja keras semua pihak. Sayangnya aparat belum sepenuhnya mau turun ke lapangan. dan tampaknya lebih suka membahas di belakang meja. Tidak ada yang mau berkeringat.
Penutup
Hukum tanpa efektivitas hanyalah “macan kertas”. Tak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat kesenjangan informasi terkait berlakunya Perda Tibum No 8/2007. Banyak masyarakat yang melihat secara sinis bahwa perda tersebut tak lebih sebagai kedok untuk menggusur perkampungan kumuh, menangkap pengemis dan gelandangan, “menggaruk” pedagang kakilima. Sementara tak satu pun dalam pasal-pasal perda yang mengawasi dan mengatur kepentingan orang-orang kaya.
Untuk meningkatkan efektivitas perlu kiranya Perda 8/2007 dirivisi, disesuaikan dengan realitas sosial masyarakat Ibukota Jakarta, disertai berbagai kampanye, agar didapat kesamaan pemahaman arti pentingnya sebuah aturan demi tercapainya kondisi yang diinginkan.
Sabtu, 14 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Menurut saya peraturan daerah DKI Jakarta sulit mengatasi kesemrawutan Jakarta karena kompleksitas persoalannya, terutama ketertiban. Sebagus apapun peraturan tak akan mampu, kalau tidak dibarengi tindakan tegas dan keras. Kalau tanah kosong tiba-tiba diserobot orang, ramai-ramai mendirikan bangunan secara liar, lalu minta ganti rugi ketika pemilik tanah akan menempati, di mana keadilan bagi pemilik tanah? Jadi jangan bicara orang miskin saja, bicara juga orang yang dirugikan. Saya khawatir istilah orang miskin hanya bentuk menipulasi untuk digunakan sebagai alat mencari pembenaran saja.
Menurut saya, solusi yang paling baik, kerjakan yang bisa dikerjakan untuk menertibakan Jakarta dengan Perda Tibum 8, dan kekurangan-kekurangannya sambil jalan terus diperbaiki. Kalau tidak, keburu Jakarta menjadi hutan belantara tanpa aturan tegas.
Jalan terus!
Posting Komentar