Kamis, 12 Juni 2008

AYAM

Lelaki gila wanita disebut sang Arjuna
Wanita diperkosa dibilang si genit malang,
Mencuri seekor ayam digebuki tetangga,
Merampok sejuta ayam dilindungi undang-undang

-- W. S. Rendra

BEGITULAH tingkat keseriusan hukum dilukiskan WS Rendra sebagai berbeda untuk mereka yang miskin dan yang berpunya. Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid memberi contoh lebih jelas bahwa para konglomerat hitam yang melanggar hukum dan mengakibatkan kerugian rakyat tak terhingga banyaknya, dengan mudah melepaskan diri dari jeratan hukum. Gus Dur – panggilan akrabnya – menunjuk kasus penyimpangan Dipasena di Sumatra Selatan dan pabrik Gajah Tunggal di Jawa Barat. “Kalau pencuri ayam ditahan sekian lama sebelum dibawa ke pengadilan, maka para konglemerat hitam berada di luar penjara, menunggu proses hukum atas kasus yang dihadapi.”

Fakta-fakta yang dipuisikan WS Rendra maupun statemen Gus Dur di atas, mempertegas keberpihakan hukum kepada kaum kuat secara politik dan ekonomi, sedangkan rakyat kecil sering menjadi korban manipulasi dalam penegakan hukum. Menurut Prof Dr Mahfud MD[3], ketimpangan tersebut disebabkan oleh banyak faktor, antara lain dua konsep yang diadopsi yang menimbulkan kerancuan implementasi. "Kita lebih condong menegakkan hukum daripada menegakkan keadilan. Padahal, secara subtansial, keadilan itulah yang harus kita junjung tinggi."

Tingkat Keseriusan
Kasus pencurian ayam, umumnya bermotif ekonomi dan desakan untuk bertahan hidup – sebagai kibat kemiskinan atau kelaparan. Korbannya hanya satu dua orang dengan nilai kerugian yang relatif kecil, bersifat individual, malah dalam berbagai kasus pada akhirnya korban cenderung memberi maaf ketika motif pelaku adalah ekonomi. Meski begitu sanksi pidana penjara bagi pelaku pencurian, sebagaimana pasal 362 KUHP adalah :

Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Jadi, mengambil seekor ayam harus dibayar dengan kemungkinan mendekam di penjara selama lima tahun. Jika dihitung-hitung dalam crime total data kepolisian umumnya, jumlah korban kasus pencurian boleh dibilang tidak terlalu mencolok. Berbeda dengan pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kekerasan. Artinya, perlidungan untuk masyarakat terhadap kemungkinan menjadi korban kejahatan pencurian ringan dapat dikatakan sangat serius, tercermin dari sanksi pidana bagi pelakunya. Tingginya ancaman pidana, diharapkan dapat menjadi penggentarjeraan bagi pelaku pencurian.

Bagaimana dengan mencuri (baca: korupsi) “sejuta ayam”? Bentuk kejahatan dengan nilai kerugian miliar hingga triliunan rupiah, yang dapat melumatkan peluang hidup banyak orang ini -- sebagaimana kata Gus Dur – sering mendapatkan perlakuan sangat istimewa. Meski tingkat keseriusannya lebih tinggi, terlihat dari bermacam sanksi di UU No. 20/2001 ((perubahan UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK)), tetapi ancaman pidananya tak berbeda jauh dengan pidana pencurian. Pasal 3 UU No 31/1999 misalnya:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, … karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, … pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)…
Ini berarti bahwa pelaku korupsi sangat mungkin cuma dipidana penjara satu tahun. Kalaulah didenda Rp 50 juta, apalah arti angka tersebut dibanding jumlah miliaran rupiah yang dikorup.
Berbeda dengan pasal 362 KUHP, pasal UU PTPK ini pun penerapannya tidak sederhana. Sangat kompleks. Terkadang ada kendala prosedural (hukum acara) yang rentan untuk dipermainkan, dalam beberapa kasus malah tumpang tindih dengan tindak pidana lain. Sebab korupsi kerap dilihat tidak semata-mata adalah hukum, tapi dapat diseret masuk ke dalam ranah politik dan ekonomi.
Anggota DPR RI Drajat Hari Wibowo pernah memberikan peringatan kepada kejaksaan agar berhati-hati dalam menangani kasus-kasus korupsi (kredit macet), karena jenis kasus tersebut sebenarnya masih masuk domain UU Perbankan (Harian Kompas, 19 Juni 2006). Belum lagi jika berkaitan dengan UU Perpajakan, UU Kepabeanan, atau UU Pencucian Uang misalnya.

Wajar saja kalangan praktisi maupun teoritisi hukum sering dibuat bingung. Keadaan ini suka tidak suka mempermudah pelaku korupsi berkelit dari jeratan kejahatan yang dikategorikan white collar crime itu. Lalu di mana kemudian letak keseriusan perlidungan hukum terhadap para korbannya? Padahal dampak yang ditimbulkan atas kejahatan korupsi jauh lebih serius ketimbang korban pencurian.

Korban Korupsi

Siapa sebenarnya korban korupsi? Dalam berbagai literatur, dijelaskan bahwa korupsi berdampak multidimensional di hampir semua lini kehidupan, seperti dilukiskan antara lain sebagai berikut:

- Di dunia politik mempersulit demokrasi, tata pemerintahan yang baik, mengurangi akuntabilitas, pembentukan kebijaksanaan pro-penyuap, ketidakseimbangan pelayanan masyarakat;
- Di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum dan ketidakdilan;
- Di bidang ekonomi mempersulit pembangunan, membuat distorsi dan ketidakefisienan, meningkatkan ongkos niaga, pemindahan penananaman modal, membunuh perusahaan kecil.
Tegasnya, secara umum korupsi mengikis kemampuan institusional pemerintah, karena pengabaian prosedur dan penyedotan sumber daya. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan kepercayaan. Dalam bahasa sederhana, melumpuhkan sendi-sendi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Sebuah pemerintahan bahkan negara dapat hancur akibat kejahatan korupsi. Korbannya berjuta-juta orang, walau secara orang perorang masyarakat tidak merasakannya seketika, dibanding saat mereka menjadi korban pencurian.

Maka, membandingkan pencuri ayam yang diancam hukuman paling lama lima tahun (belum termasuk dikeroyok) dengan koruptor miliaran (bisa dipakai membeli sejuta ayam, bahkan lebih) yang dipidana 1 – 20 tahun, sesungguhnya merupakan cermin bagaimana hukum belum maksimal mengapresiasi korban.

Kalau ditimbang-timbang, kwalitas dan tingkat keseriusan korban pencurian tidak ada artinya dibanding korupsi. Tetapi risikonya tak berselisih jauh, terlebih peluang pelaku kasus korupsi untuk lolos dari sanksi penjara lebih terbuka lebar. Bedanya hanya persoalan yang satu pencuri tanpa dasi untuk menyambung hidup sehari-hari, yang lain pencuri berdasi untuk menikmati hidup berjuta-juta hari.

Adakah lantaran tak langsung dirasakan masyarakat, maka tingkat keseriusan untuk melindungi korban kejahatan korupsi nyaris terabaikan?

Dalam perpekstif viktimologi, pada prinsipnya negara berkewajiban menjamin rasa aman dan perlindungan bagi warga negaranya dalam berbagai aspek kehidupan[5]. Dalam konteks pidana korupsi ini, dapat ditafsirkan bahwa pemerintah menjadi turut andil dalam menimbulkan viktimisasi – meski tidak langsung – sebagai akibat perlakuan hukum terhadap kejahatan korupsi.

Tidak ada komentar: