
KASUS penembakan warga sipil yang dilakukan oleh oknum TNI (marinir) di Alas Telogo sangat mengagetkan seluruh bangsa. Di tengah-tengah sedang kerasnya tuntutan masyarakat agar TNI mereformasi diri dan menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang, justru terjadi tragedi Alas Telogo. Hanya untuk sebuah alasan mempertahankan areal tanah yang konon sedang dalam status bersengketa, oknum TNI mampu melakukan pengejaran dan menembaki warga sipil, yang nota bene adalah warga negaranya sendiri.
Sebagai wujud rasa keprihatinan itu, maka berbagai elemen bangsa seperti anggota DPR RI, Komnas HAM dan berbagai pihak ingin mengetahui dan melihat secara langsung tentang akar permasalahan, mengapa sampai terjadi penembakan kepada warga sipil tersebut?? Sementara rasa prihatin dan penyesalan belum dapat dihapus dari ingatan kita, pada hari Rabu kemarin kita kembali dibuat terkejut oleh proses persidangan terhadap para terdakwa kasus Alas Telogo di Peradilan Militer Surabaya yang dipimpin oleh Letkol CHK Yan Mulyana, SH. Ternyata Oditur Militer Letkol CHK Agung, SH, yang mewakili negara untuk tugas penuntutan, kembali menciderai rasa keadilan masyarakat dengan membacakan tuntutan dan menuntut para pelaku penembakan secara bervariasi dengan tuntutan pidana penjara yang sangat ringan selama yaitu mulai 2 tahun penjara sampai dengan 4 tahun 3 bulan penjara.
Padahal secara jelas dikemukakan alasan penuntutannya adalah karena para terdakwa telah terbukti dan tindakan yang dilakukan telah memenuhi unsur tindak pidana yang didakwakan yaitu telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat 3 KUHP juncto Pasal 103 KUHPM. Berdasarkan ketentuan Pasal 170 KUHP jo 103 KUHPM dimaksud, oditur berusaha menjerat para pelaku agar dapat dipidana secara pantas, yaitu pemidanaan secara komulatif karena telah melakukan tindak pidana perbarengan (concursus), sehingga ancaman pidananya adalah ancaman pidana tertinggi ditambah 1/3, dengan demikian sudah selayaknya tuntutannya lebih dari 7 tahun penjara. Mengapa dituntut ringan?
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dugaan campur tangannya pimpinan atau pihak lain yang mampu membuat oditur militer yang menangani perkara ini lebih memilih untuk bersikap ambivalen dalam melaksanakan tugasnya. Oditur militer sesungguhnya telah memahami dan melihat serta mendengar langsung keterangan-keterangan dalam persidangan (fakta persidangan) yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, sehingga dalam tuntutannya dapat mendalilkan bahwa para terdakwa telah terbukti dan memenuhi unsur, karenanya secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindakan sebagaimana didakwakan kepadanya.
Tetapi mengapa dengan keyakinan di atas, ternyata oditur militer lebih memilih menuntut para terdakwa dengan tuntutan pidana yang ringan (2 – 4 tahun penjara). Mengapa demikian? Ambivalensi sikap oditur ini merupakan bukti awal yang patut dicermati oleh Oditur Jenderal TNI agar oditur militer yang memeriksa perkara ini diperiksa dan diminta pertanggungjawabannya. Apakah rencana penuntutannya telah mendapat persetujuan dari atasannya atau bahkan mungkin atas perintah atasannya?? Jika terbukti dikarenakan adanya campur tangan dari atasannya, maka sudah selayaknya para pejabat penegak hokum, dalam hal ini Oditur Jenderal TNI-lah, yang harus berani mengungkap dan membersihkan serta menegakkan kembali wibawa peradilan militer. Sebab seluruh masyarakat yang memahami hokum, mengetahui bahwa untuk melakukan tuntutan pidana (terlebih-lebih terhadap perkara yang menarik perhatian masyarakat ini) oditur militer tentu meminta petunjuk kepada kepada atasannya. Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa tuntutan yang dibacakan oditur militer ini, atas petunjuk atasan. Permasalahannya adalah atasan yang mana yang meminta agar dituntut serendah ini?
Reformasi Peradilan Militer
Pada saat ini sedang berlangsung proses pembinaan para hakim militer oleh Mahkamah Agung RI sebagai konsekuensi ditempatkannya para hakim militer di bawah pembinaan Mahkamah Agung RI. Sekalipun demikian masih terdapat permasalahan krusial yang harus segera dilakukan perubahan terkait dengan reformasi dalam sistem peradilan pidana militer (Integrated Military of Criminal Justice System), yaitu keberadaan Babinkum TNI yang sampai dengan saat ini masih mampu mempengaruhi sistem pembinaan para perwira korps hukum, khususnya dalam hal pengajuan usulan pengangkatan hakim dan oditur militer, kenaikan pangkat hakim dan oditur militer serta para panitera.
Hal yang lebih penting lagi adalah belum dilepaskannya Babinkum TNI dari fungsi penegakan hokum. Babinkum TNI masih membawahi Oditur Jenderal TNI dan Pemasyarakatan Militer TNI. Panglima TNI seharusnya menempatkan Babinkum TNI, hanya merupakan staf khusus Panglima TNI dalam bidang hokum yang menjalankan fungsi organik militer umum saja. Dengan demikian tidak mempunyai kaitan lagi dengan para penegak hokum dalam peradilan militer. Guna memaksimalkan kinerja oditur militer perlu dipertimbangkan agar para oditur militer juga ditempatkan satu atap dengan Kejaksaan Agung RI, Jaksa Agunglah yang mempunyai kewenangan untuk pembinaan para oditur militer yang dalam pelaksanaan tugasnya akan dibantu dengan seorang Jaksa Agung Muda bidang Pidana dan Tata Usaha Militer. Melalui perubahan seperti di atas diharapkan terputus hirarkhi atasan kepada para bawahan yang menjabat sebagai oditur militer atau dengan kata lain meminimalisasikan kemungkinan campur tangan komandan kepada proses peradilan. Reformasi peradilan militer harus berjalan terus sampai mampu mewujudkan peradilan militer yang berwibawa, mandiri dan berkeadilan. (Oleh: Prastopo, SH MH, Ketua Indonesia Military Watch)
Sebagai wujud rasa keprihatinan itu, maka berbagai elemen bangsa seperti anggota DPR RI, Komnas HAM dan berbagai pihak ingin mengetahui dan melihat secara langsung tentang akar permasalahan, mengapa sampai terjadi penembakan kepada warga sipil tersebut?? Sementara rasa prihatin dan penyesalan belum dapat dihapus dari ingatan kita, pada hari Rabu kemarin kita kembali dibuat terkejut oleh proses persidangan terhadap para terdakwa kasus Alas Telogo di Peradilan Militer Surabaya yang dipimpin oleh Letkol CHK Yan Mulyana, SH. Ternyata Oditur Militer Letkol CHK Agung, SH, yang mewakili negara untuk tugas penuntutan, kembali menciderai rasa keadilan masyarakat dengan membacakan tuntutan dan menuntut para pelaku penembakan secara bervariasi dengan tuntutan pidana penjara yang sangat ringan selama yaitu mulai 2 tahun penjara sampai dengan 4 tahun 3 bulan penjara.
Padahal secara jelas dikemukakan alasan penuntutannya adalah karena para terdakwa telah terbukti dan tindakan yang dilakukan telah memenuhi unsur tindak pidana yang didakwakan yaitu telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat 3 KUHP juncto Pasal 103 KUHPM. Berdasarkan ketentuan Pasal 170 KUHP jo 103 KUHPM dimaksud, oditur berusaha menjerat para pelaku agar dapat dipidana secara pantas, yaitu pemidanaan secara komulatif karena telah melakukan tindak pidana perbarengan (concursus), sehingga ancaman pidananya adalah ancaman pidana tertinggi ditambah 1/3, dengan demikian sudah selayaknya tuntutannya lebih dari 7 tahun penjara. Mengapa dituntut ringan?
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dugaan campur tangannya pimpinan atau pihak lain yang mampu membuat oditur militer yang menangani perkara ini lebih memilih untuk bersikap ambivalen dalam melaksanakan tugasnya. Oditur militer sesungguhnya telah memahami dan melihat serta mendengar langsung keterangan-keterangan dalam persidangan (fakta persidangan) yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, sehingga dalam tuntutannya dapat mendalilkan bahwa para terdakwa telah terbukti dan memenuhi unsur, karenanya secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindakan sebagaimana didakwakan kepadanya.
Tetapi mengapa dengan keyakinan di atas, ternyata oditur militer lebih memilih menuntut para terdakwa dengan tuntutan pidana yang ringan (2 – 4 tahun penjara). Mengapa demikian? Ambivalensi sikap oditur ini merupakan bukti awal yang patut dicermati oleh Oditur Jenderal TNI agar oditur militer yang memeriksa perkara ini diperiksa dan diminta pertanggungjawabannya. Apakah rencana penuntutannya telah mendapat persetujuan dari atasannya atau bahkan mungkin atas perintah atasannya?? Jika terbukti dikarenakan adanya campur tangan dari atasannya, maka sudah selayaknya para pejabat penegak hokum, dalam hal ini Oditur Jenderal TNI-lah, yang harus berani mengungkap dan membersihkan serta menegakkan kembali wibawa peradilan militer. Sebab seluruh masyarakat yang memahami hokum, mengetahui bahwa untuk melakukan tuntutan pidana (terlebih-lebih terhadap perkara yang menarik perhatian masyarakat ini) oditur militer tentu meminta petunjuk kepada kepada atasannya. Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa tuntutan yang dibacakan oditur militer ini, atas petunjuk atasan. Permasalahannya adalah atasan yang mana yang meminta agar dituntut serendah ini?
Reformasi Peradilan Militer
Pada saat ini sedang berlangsung proses pembinaan para hakim militer oleh Mahkamah Agung RI sebagai konsekuensi ditempatkannya para hakim militer di bawah pembinaan Mahkamah Agung RI. Sekalipun demikian masih terdapat permasalahan krusial yang harus segera dilakukan perubahan terkait dengan reformasi dalam sistem peradilan pidana militer (Integrated Military of Criminal Justice System), yaitu keberadaan Babinkum TNI yang sampai dengan saat ini masih mampu mempengaruhi sistem pembinaan para perwira korps hukum, khususnya dalam hal pengajuan usulan pengangkatan hakim dan oditur militer, kenaikan pangkat hakim dan oditur militer serta para panitera.
Hal yang lebih penting lagi adalah belum dilepaskannya Babinkum TNI dari fungsi penegakan hokum. Babinkum TNI masih membawahi Oditur Jenderal TNI dan Pemasyarakatan Militer TNI. Panglima TNI seharusnya menempatkan Babinkum TNI, hanya merupakan staf khusus Panglima TNI dalam bidang hokum yang menjalankan fungsi organik militer umum saja. Dengan demikian tidak mempunyai kaitan lagi dengan para penegak hokum dalam peradilan militer. Guna memaksimalkan kinerja oditur militer perlu dipertimbangkan agar para oditur militer juga ditempatkan satu atap dengan Kejaksaan Agung RI, Jaksa Agunglah yang mempunyai kewenangan untuk pembinaan para oditur militer yang dalam pelaksanaan tugasnya akan dibantu dengan seorang Jaksa Agung Muda bidang Pidana dan Tata Usaha Militer. Melalui perubahan seperti di atas diharapkan terputus hirarkhi atasan kepada para bawahan yang menjabat sebagai oditur militer atau dengan kata lain meminimalisasikan kemungkinan campur tangan komandan kepada proses peradilan. Reformasi peradilan militer harus berjalan terus sampai mampu mewujudkan peradilan militer yang berwibawa, mandiri dan berkeadilan. (Oleh: Prastopo, SH MH, Ketua Indonesia Military Watch)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar