Kamis, 12 Juni 2008

MAFIA


Hukum itu seperti sarang laba-laba, hanya bisa menjerat yang lemah
dan dapat dengan mudah dihancurkan oleh mereka yang kuat.


- Filsof Yunani, Plato (427 SM-347 SM)

KALAU mau jujur, penggambaran Plato ini tidak meleset dari realita keadilan hukum di Indonesia saat ini. Mereka yang kaya bisa membeli dan merekayasa hukum, sementara yang miskin menjadi bulan-bulanan.


Indeks Barometer Korupsi Global 2007 – merupakan hasil penelitian Gallup Internasional atas nama Transparency International Indonesia/TII tentang institusi paling korup di Indonesia -- menguatkan asumsi tersebut. Dari 14 instansi yang diteliti, polisi mendapat skor tertinggi, 4,2. Peringkat kedua terkorup adalah pengadilan dan parlemen (4,1), sementara peringkat ketiga “milik” partai politik (4,0).(Harian Kompas 7 Desember 2007)


Menurut Sekretaris Jenderal TII Rizal Malik, Barometer Korupsi Global adalah pendapat masyarakat terhadap korupsi dan catatan negara dari lembaga publik yang meminta suap. "Korban terbanyak dari praktik korupsi ini adalah orang miskin. Mereka yang tidak memberikan suap tak akan mendapatkan pelayanan yang baik," kata Rizal

Inilah fakta yang tidak dapat dipungkiri. Hukum sudah menjadi barang dagangan yang diperjual-belikan oleh para polisi, jaksa, dan hakim, dengan melibatkan pengacara. “Dengan membayar lebih banyak, Anda bisa memenangkan perkara meskipun salah dan membuat lawan Anda dipenjara.”

Korupnya sistem hukum Indonesia sudah ada sejak 1970-an dengan apa yang disebut “mafia hukum atau peradilan” di semua proses pencarian keadilan. Hal ini dapat diartikan bahwa empat komponen Sistem Peradilan Pidana (SPP) tidak ada yang tidak dijamah mafia peradilan. Baik di tingkat penyidikan (kepolisian), penuntutan (kejaksaan), penghukuman (pengadilan), maupun penjara (LP).

Mafia adalah panggilan kolektif untuk beberapa organisasi rahasia di Sisilia dan AS. Awalnya merupakan nama sebuah konfederasi orang-orang di Sisilia untuk tujuan perlindungan dan penegakan hukum sendiri (main hakim). Konfederasi ini kemudian mulai melakukan kejahatan terorganisir. Anggota mafia disebut mafioso, yang berarti "pria terhormat". Istilah mafia kini telah melebar hingga dapat merujuk kepada kelompok besar apapun yang melakukan kejahatan terorganisir. Tentu isitilah mafia dalam pengertian ini tidak sama persis dengan “mafia hukum” di Indonesia, karena lebih pada masalah suap menyuap.
Maka adalah menarik dalam kondisi wajah hukum centang perenang, polisi sebagai elemen terdepan dalam proses SPP, mencoba membenahi diri dengan meretas jalan untuk menciptakan paradigma baru kepolisian. Sebuah semangat yang patut dipuji, meski banyak pihak meragukan, mengingat sudah demikian kronisnya mafia hukum menggerogoti pilar-pilar SPP.

Paradigma baru polisi (baca:Polri) dimaksudkan sebagai bentuk adaptasi dengan segala perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang makin mengglobal. Polisi lalu melakukan penyesuaian dengan memodernisasi dan mereformasi diri melalui berbagai pemberdayaan, terutama perubahan pola pikir.

Salah satu yang dikedepankan adalah menciptakan polisi yang bermitra dengan masyarakat untuk melindungi, mengayomi dan menegakkan hukum melalui proses membebaskan polisi dari cara-cara kerja yang unpolice atau “tidak layak polisi” seperti, sewenang-wenang, otoriter, dan militeristik, menjadi polisi sipil yang partnership dan problem solving. Perubahan paradigma yang semula menitikberatkan pada pendekatan yang reaktif dan konvensional, menuju pendekatan yang proaktif dan mendapat dukungan publik.
Paradigma baru ini sekaligus sebagai kerangka mewujudkan jati diri ke dalam paradigma yang dikenal kemudian sebagai community policing (perpolisian komuniti) atau perpolisian masyarakat (polmas).

Tujuan community policing adalah membentuk polisi sipil dengan cara:

(1) Bersama-sama masyarakat mencari jalan keluar masalah keamanan sosial; (2) Berupaya mengurangi rasa ketakutan adanya gangguan kriminalitas; (3) Mengutamakan pencegahan kriminalitas; (4) Berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan memperbaiki dan menjaga hubungan polisi dengan masyarakat.Secara praktis, model community policing dapat dianalogikan bahwa posisi polisi setara dengan warga komuniti dalam membangun kemitraan untuk mencari solusi

Tidak ada komentar: