SISTEM peradilan pidana (SPP) memiliki kesadaran bersifat unwelfare – rehabilitasi dan pengendalian -- guna mencapai tujuan welfare. Selain rasional, juga memahami dan memperhitungkan dampak sosial kemanusiaan. Secara operasional pun SPP mempunyai perangkat subsistem yang bekerja koheren, koordinatif dan integratif demi efisiensi dan efektivitas.
Sebagai bentuk subproses sosial, SPP tak lepas dari sifat kriminogen lantaran adanya praktik-praktik yang tidak konsisten, yang justru bisa “menciptakan” kejahatan. Sebuah tindak pidana bisa saja menjadi bukan tindak pidana atau sebaliknya. Persepsi masing-masing penegak hukum, profesionlisme, infrastruktur, budaya – bahkan kepentingan politik -- dapat membawa pandangan bahwa hukum adalah sebatas pembalasan semata. Penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap (pelaku) tindak pidana yang sama adalah kriminogen.
Dalam konteks kriminogen, dapat dicermati proses penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap penanganan kasus dugaan korupsi aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR yang melibatkan para pejabat dan pegawai bank sentral itu.
Aliran dana BI sebesar Rp100 miliar terungkap berawal dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikirim Ketua ಬ್ಪ್ಕ್ Anwar Nasution ke KPK, 14 November 2006. Dalam laporan itu disebutkan, rapat Dewan Gubernur BI pada 3 Juni 2003 memutuskan bahwa Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) menyediakan dana Rp100 miliar untuk dua keperluan.
Pertama, pencairan dana Rp68,5 miliar yang akan digunakan membantu proses hukum kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan lima mantan dewan gubernur dan mantan direksi BI, berdasarkan keputusan rapat Dewan Gubernur BI pada 22 Juli 2003. Dewan Gubernur BI saat itu adalah Burhanuddin Abdullah (Gubernur BI), Anwar Nasution (Deputi Gubernur Senior), dan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan, R Maulana Ibrahim, Maman H Somantri, Bun Bunan EJ Hutapea, dan Aslim Tadjuddin.
Dana untuk bantuan hukum diberikan kepada Soedrajad Djiwandono (mantan Gubernur BI), Iwan R Prawiranata (mantan Deputi Gubernur BI), Heru Soepratomo (mantan Deputi Gubernur BI), Hendrobudiyanto (mantan Direksi BI), dan Paul Sutopo (mantan Direksi BI). Mereka terjerat kasus BLBI, kredit ekspor, dan kasus lainnya sehubungan krisis ekonomi 1997-1998.
Kedua, sebesar Rp31,5 miliar diserahkan kepada Komisi IX DPR periode 1999-2004 untuk pembahasan dan diseminasi sejumlah UU tentang BI. Hasil audit menyebutkan dana untuk DPR dicairkan melalui tujuh cek yang dikeluarkan bertahap mulai 30 Juni hingga 8 Desember 2003.
Hasil audit BPK itu menunjukkan secara nyata bahwa telah terjadi gratifikasi dalam kasus aliran dana BI, karena sudah ditemukan pihak pemberi dan motivasi pemberian kepada para anggota DPR yang sedang melakukan revisi UU BI.
Hasil audit BPK itu menunjukkan secara nyata bahwa telah terjadi gratifikasi dalam kasus aliran dana BI, karena sudah ditemukan pihak pemberi dan motivasi pemberian kepada para anggota DPR yang sedang melakukan revisi UU BI.
Apa yang diungkap BPK, memperjelas bahwa aliran dana BI yang merembes ke berbagai penjuru itu bukan inisiatif orang-perorang, melainkan keputuskan secara kolektif dalam rapat Dewan Gubernur BI. Bila kemudian KPK berkeyakinan bahwa kasus itu merugikan keuangan negara, tentu KPK bakal mendudukkan begitu banyak pejabat di kursi pesakitan.
Sayangnya, fakta berbicara lain. Sejauh ini cuma Gubernur BI Burhanuddin Abdullah yang terkena. Setelah menetapkan Burhan sebagai tersangka sejak awal 2008, KPK langsung menahan Gubernur BI yang sudah diganti itu.
Ada empat pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi – UU No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 yang bakal dibidikkan ke arah Burhan. Yakni:
- Pasal 2 ayat (1) UU No 31/1999:
… dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda … paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
- Pasal 3 UU No 31/1999:
… menyalahgunakan kewenangan… karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun … atau denda … paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
- Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 20/2000:
… pidana penjara … paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda … paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: (a) memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara …
- Pasal 8 UU No 20/2000:
… pidana penjara … paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda … paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri … dengan sengaja menggelapkan uang …. karena jabatannya …
Pasal-pasal di atas bukan main-main. Haruskah dihadapi oleh Burhan seorang? Lalu di mana para pejabat yang ikut memutuskan dan menyetujui Rapat Dewan Gubernur BI pada 3 Juni 2003 untuk mengeluarkan uang Rp 100 miliar dari YPPI. Mengapa mereka tidak kunjung ditahan juga? Di sinilah KPK tak konsisten dan sangat kentara melakukan praktik “tebang pilih”.
… dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda … paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
- Pasal 3 UU No 31/1999:
… menyalahgunakan kewenangan… karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun … atau denda … paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
- Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 20/2000:
… pidana penjara … paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda … paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: (a) memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara …
- Pasal 8 UU No 20/2000:
… pidana penjara … paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda … paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri … dengan sengaja menggelapkan uang …. karena jabatannya …
Pasal-pasal di atas bukan main-main. Haruskah dihadapi oleh Burhan seorang? Lalu di mana para pejabat yang ikut memutuskan dan menyetujui Rapat Dewan Gubernur BI pada 3 Juni 2003 untuk mengeluarkan uang Rp 100 miliar dari YPPI. Mengapa mereka tidak kunjung ditahan juga? Di sinilah KPK tak konsisten dan sangat kentara melakukan praktik “tebang pilih”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar