Senin, 16 Juni 2008

ALAS TELOGO


KASUS penembakan warga sipil yang dilakukan oleh oknum TNI (marinir) di Alas Telogo sangat mengagetkan seluruh bangsa. Di tengah-tengah sedang kerasnya tuntutan masyarakat agar TNI mereformasi diri dan menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang, justru terjadi tragedi Alas Telogo. Hanya untuk sebuah alasan mempertahankan areal tanah yang konon sedang dalam status bersengketa, oknum TNI mampu melakukan pengejaran dan menembaki warga sipil, yang nota bene adalah warga negaranya sendiri.

Sebagai wujud rasa keprihatinan itu, maka berbagai elemen bangsa seperti anggota DPR RI, Komnas HAM dan berbagai pihak ingin mengetahui dan melihat secara langsung tentang akar permasalahan, mengapa sampai terjadi penembakan kepada warga sipil tersebut?? Sementara rasa prihatin dan penyesalan belum dapat dihapus dari ingatan kita, pada hari Rabu kemarin kita kembali dibuat terkejut oleh proses persidangan terhadap para terdakwa kasus Alas Telogo di Peradilan Militer Surabaya yang dipimpin oleh Letkol CHK Yan Mulyana, SH. Ternyata Oditur Militer Letkol CHK Agung, SH, yang mewakili negara untuk tugas penuntutan, kembali menciderai rasa keadilan masyarakat dengan membacakan tuntutan dan menuntut para pelaku penembakan secara bervariasi dengan tuntutan pidana penjara yang sangat ringan selama yaitu mulai 2 tahun penjara sampai dengan 4 tahun 3 bulan penjara.

Padahal secara jelas dikemukakan alasan penuntutannya adalah karena para terdakwa telah terbukti dan tindakan yang dilakukan telah memenuhi unsur tindak pidana yang didakwakan yaitu telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat 3 KUHP juncto Pasal 103 KUHPM. Berdasarkan ketentuan Pasal 170 KUHP jo 103 KUHPM dimaksud, oditur berusaha menjerat para pelaku agar dapat dipidana secara pantas, yaitu pemidanaan secara komulatif karena telah melakukan tindak pidana perbarengan (concursus), sehingga ancaman pidananya adalah ancaman pidana tertinggi ditambah 1/3, dengan demikian sudah selayaknya tuntutannya lebih dari 7 tahun penjara. Mengapa dituntut ringan?

Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dugaan campur tangannya pimpinan atau pihak lain yang mampu membuat oditur militer yang menangani perkara ini lebih memilih untuk bersikap ambivalen dalam melaksanakan tugasnya. Oditur militer sesungguhnya telah memahami dan melihat serta mendengar langsung keterangan-keterangan dalam persidangan (fakta persidangan) yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, sehingga dalam tuntutannya dapat mendalilkan bahwa para terdakwa telah terbukti dan memenuhi unsur, karenanya secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindakan sebagaimana didakwakan kepadanya.

Tetapi mengapa dengan keyakinan di atas, ternyata oditur militer lebih memilih menuntut para terdakwa dengan tuntutan pidana yang ringan (2 – 4 tahun penjara). Mengapa demikian? Ambivalensi sikap oditur ini merupakan bukti awal yang patut dicermati oleh Oditur Jenderal TNI agar oditur militer yang memeriksa perkara ini diperiksa dan diminta pertanggungjawabannya. Apakah rencana penuntutannya telah mendapat persetujuan dari atasannya atau bahkan mungkin atas perintah atasannya?? Jika terbukti dikarenakan adanya campur tangan dari atasannya, maka sudah selayaknya para pejabat penegak hokum, dalam hal ini Oditur Jenderal TNI-lah, yang harus berani mengungkap dan membersihkan serta menegakkan kembali wibawa peradilan militer. Sebab seluruh masyarakat yang memahami hokum, mengetahui bahwa untuk melakukan tuntutan pidana (terlebih-lebih terhadap perkara yang menarik perhatian masyarakat ini) oditur militer tentu meminta petunjuk kepada kepada atasannya. Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa tuntutan yang dibacakan oditur militer ini, atas petunjuk atasan. Permasalahannya adalah atasan yang mana yang meminta agar dituntut serendah ini?

Reformasi Peradilan Militer

Pada saat ini sedang berlangsung proses pembinaan para hakim militer oleh Mahkamah Agung RI sebagai konsekuensi ditempatkannya para hakim militer di bawah pembinaan Mahkamah Agung RI. Sekalipun demikian masih terdapat permasalahan krusial yang harus segera dilakukan perubahan terkait dengan reformasi dalam sistem peradilan pidana militer (Integrated Military of Criminal Justice System), yaitu keberadaan Babinkum TNI yang sampai dengan saat ini masih mampu mempengaruhi sistem pembinaan para perwira korps hukum, khususnya dalam hal pengajuan usulan pengangkatan hakim dan oditur militer, kenaikan pangkat hakim dan oditur militer serta para panitera.

Hal yang lebih penting lagi adalah belum dilepaskannya Babinkum TNI dari fungsi penegakan hokum. Babinkum TNI masih membawahi Oditur Jenderal TNI dan Pemasyarakatan Militer TNI. Panglima TNI seharusnya menempatkan Babinkum TNI, hanya merupakan staf khusus Panglima TNI dalam bidang hokum yang menjalankan fungsi organik militer umum saja. Dengan demikian tidak mempunyai kaitan lagi dengan para penegak hokum dalam peradilan militer. Guna memaksimalkan kinerja oditur militer perlu dipertimbangkan agar para oditur militer juga ditempatkan satu atap dengan Kejaksaan Agung RI, Jaksa Agunglah yang mempunyai kewenangan untuk pembinaan para oditur militer yang dalam pelaksanaan tugasnya akan dibantu dengan seorang Jaksa Agung Muda bidang Pidana dan Tata Usaha Militer. Melalui perubahan seperti di atas diharapkan terputus hirarkhi atasan kepada para bawahan yang menjabat sebagai oditur militer atau dengan kata lain meminimalisasikan kemungkinan campur tangan komandan kepada proses peradilan. Reformasi peradilan militer harus berjalan terus sampai mampu mewujudkan peradilan militer yang berwibawa, mandiri dan berkeadilan. (Oleh: Prastopo, SH MH, Ketua Indonesia Military Watch)

Sabtu, 14 Juni 2008

TIBUM

MASIH banyak warga DKI Jakarta yang belum mengetahui – apalagi memahami – Peraturan Daerah (Perda) No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum). Padahal perda yang disahkan DPRD DKI pada 15 Oktober 2007 itu, sudah diterapkan dan memakan banyak “korban” dalam bentuk penggusuran, penangkapan para gelandangan, pengemis, dan pedagang kaki-lima.

Perda No 8/2007 adalah aturan hukum yang dibuat untuk tujuan menertibkan, membersihkan, membikin aman dan nyaman Jakarta. Tidak banyak yang terlibat dalam penyusunan perda ini – baik bentuk partisipasi publik maupun dari akademisi. Sehigga ketika perda yang dimaksudkan untuk mengganti Perda No.11/1988 ini disahkan, bertubi-tubi protes penolakan dilontarkan masyarakat. Banyak pasal Perda Tibum dikritisi, terutama lantaran sifatnya yang terkesan “memerangi dan memusuhi orang miskin di Jakarta”.

Namun Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memilih mengabaikan protes tersebut dan jalan terus. Mungkin karena pembuatan Perda Tibum dilandasi niat dan semangat untuk mengajak berubah, menjadikan: … keadaan di mana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara tertib dan teratur …melakukan kegiatan secara tenteram dan nyaman - Bab I pasal 1 (5 dan 6). Persoalannya seberapa jauh Perda 8/2007 Tibum DKI dapat efektif mengatur masyarakat Jakarta yang heterogen, padat, semrawut dengan ditingkahi tingginya tingkat kerawanan sosial?

Kontroversi

Efektivitas sebuah hukum sebagai instrumen perubahan, menurut William Evan, harus otoritatif. Hukum harus mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan dan mempunyai wibawa alat penegak aturan.

Ketika Perda 8/2007 tentang Tibum diundangkan dan disosialisasikan, tudingan bahwa perda tersebut sebagai alat pemerintah untuk menggusur dan menghilangkan warga miskin di Jakarta lebih mengemuka ketimbang tujuan yang tersurat. Walhasil Perda Tibum DKI menuai kontroversi, diperparah dengan belum pahamnya banyak masyarakat secara utuh atas keberadaan aturan baru itu.

Sebagai contoh sebut misalnya pasal 40, berbunyi:

Setiap orang atau badan dilarang: (a) menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil, (b) menyuruh orang lain lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil, (c) membeli kepada pedagang asongan atau memberikan dsejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.

Pasal ini kalau dicermati sulit diimplementasikan dengan konsekwen dan konsisten dalam kehidupan keseharian di Jakarta. Sebab saban waktu – siang maupun malam -- dapat kita saksikan para pengemis, pedagang asongan dan pengamen beraktivitas “menantang” larangan perda di perempatan jalan (traffic light) maupun di kendaraan angkutan umum. Kegiatan itu sudah menjadi bagian denyut warga Jakarta yang berjuang untuk hidup. Tak mudah melarang apalagi menangkap , di tengah sempitnya peluang kerja saat ini.

Menurut CJ M Schuyt bahwa keadilan tanpa efektivitas bukanlah keadilan, maka pada saat itulah sebenarnya Perda Tibum telah kehilangan kemampuannya untuk mencapai tujuan. Penegasan ini dapat menggambarkan sekilas bahwa perda menjadi sulit digunakan sebagai alat legal yang dipatuhi masyarakat. Sebab kalau sejak mula perda dipahami sebagai diskriminatif, bagaimana mungkin bisa merengkuh apa yang disebut keadilan?

Ujung-ujungnya perda yang sudah bersifat represif ini akhirnya diterapkan dengan pendekatan kekuasaan. Dengan dalih atas nama aturan, aparat memorakporandakan pedagang kakilima, mengangkut barang-barang dagangannya dan meninggalkan mereka meratap, menangis, lantaran hilang sudah mata pencarian satu-satunya. Alih-alih bermaksud mengubah budaya tertib warga Jakarta, yang dapat malah kecaman.

Memang hukum merupakan salah satu instrumen perubahan. Tapi menurut Joel F Handler, ada banyak syarat. Diantaranya adalah peran birokrasi – dia dapat menghambat atau mempermudah pelaksanaan tujuan perubahan sosial.

Wajah Perda 8/2007 – suka tidak suka – adalah cermin birokrasi Pemprov DKI Jakarta. Dengan sifatnya yang represif ditambah masih adanya kesenjangan informasi diantara berbagai pihak yang terkait dengan upaya penaatan dan penegakan hukum, perda yang berusia seumur jagung ini membutuhkan kerja keras semua pihak. Sayangnya aparat belum sepenuhnya mau turun ke lapangan. dan tampaknya lebih suka membahas di belakang meja. Tidak ada yang mau berkeringat.

Penutup

Hukum tanpa efektivitas hanyalah “macan kertas”. Tak dapat dipungkiri bahwa masih terdapat kesenjangan informasi terkait berlakunya Perda Tibum No 8/2007. Banyak masyarakat yang melihat secara sinis bahwa perda tersebut tak lebih sebagai kedok untuk menggusur perkampungan kumuh, menangkap pengemis dan gelandangan, “menggaruk” pedagang kakilima. Sementara tak satu pun dalam pasal-pasal perda yang mengawasi dan mengatur kepentingan orang-orang kaya.

Untuk meningkatkan efektivitas perlu kiranya Perda 8/2007 dirivisi, disesuaikan dengan realitas sosial masyarakat Ibukota Jakarta, disertai berbagai kampanye, agar didapat kesamaan pemahaman arti pentingnya sebuah aturan demi tercapainya kondisi yang diinginkan.

Kamis, 12 Juni 2008

AYAM

Lelaki gila wanita disebut sang Arjuna
Wanita diperkosa dibilang si genit malang,
Mencuri seekor ayam digebuki tetangga,
Merampok sejuta ayam dilindungi undang-undang

-- W. S. Rendra

BEGITULAH tingkat keseriusan hukum dilukiskan WS Rendra sebagai berbeda untuk mereka yang miskin dan yang berpunya. Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid memberi contoh lebih jelas bahwa para konglomerat hitam yang melanggar hukum dan mengakibatkan kerugian rakyat tak terhingga banyaknya, dengan mudah melepaskan diri dari jeratan hukum. Gus Dur – panggilan akrabnya – menunjuk kasus penyimpangan Dipasena di Sumatra Selatan dan pabrik Gajah Tunggal di Jawa Barat. “Kalau pencuri ayam ditahan sekian lama sebelum dibawa ke pengadilan, maka para konglemerat hitam berada di luar penjara, menunggu proses hukum atas kasus yang dihadapi.”

Fakta-fakta yang dipuisikan WS Rendra maupun statemen Gus Dur di atas, mempertegas keberpihakan hukum kepada kaum kuat secara politik dan ekonomi, sedangkan rakyat kecil sering menjadi korban manipulasi dalam penegakan hukum. Menurut Prof Dr Mahfud MD[3], ketimpangan tersebut disebabkan oleh banyak faktor, antara lain dua konsep yang diadopsi yang menimbulkan kerancuan implementasi. "Kita lebih condong menegakkan hukum daripada menegakkan keadilan. Padahal, secara subtansial, keadilan itulah yang harus kita junjung tinggi."

Tingkat Keseriusan
Kasus pencurian ayam, umumnya bermotif ekonomi dan desakan untuk bertahan hidup – sebagai kibat kemiskinan atau kelaparan. Korbannya hanya satu dua orang dengan nilai kerugian yang relatif kecil, bersifat individual, malah dalam berbagai kasus pada akhirnya korban cenderung memberi maaf ketika motif pelaku adalah ekonomi. Meski begitu sanksi pidana penjara bagi pelaku pencurian, sebagaimana pasal 362 KUHP adalah :

Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Jadi, mengambil seekor ayam harus dibayar dengan kemungkinan mendekam di penjara selama lima tahun. Jika dihitung-hitung dalam crime total data kepolisian umumnya, jumlah korban kasus pencurian boleh dibilang tidak terlalu mencolok. Berbeda dengan pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kekerasan. Artinya, perlidungan untuk masyarakat terhadap kemungkinan menjadi korban kejahatan pencurian ringan dapat dikatakan sangat serius, tercermin dari sanksi pidana bagi pelakunya. Tingginya ancaman pidana, diharapkan dapat menjadi penggentarjeraan bagi pelaku pencurian.

Bagaimana dengan mencuri (baca: korupsi) “sejuta ayam”? Bentuk kejahatan dengan nilai kerugian miliar hingga triliunan rupiah, yang dapat melumatkan peluang hidup banyak orang ini -- sebagaimana kata Gus Dur – sering mendapatkan perlakuan sangat istimewa. Meski tingkat keseriusannya lebih tinggi, terlihat dari bermacam sanksi di UU No. 20/2001 ((perubahan UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK)), tetapi ancaman pidananya tak berbeda jauh dengan pidana pencurian. Pasal 3 UU No 31/1999 misalnya:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, … karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, … pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)…
Ini berarti bahwa pelaku korupsi sangat mungkin cuma dipidana penjara satu tahun. Kalaulah didenda Rp 50 juta, apalah arti angka tersebut dibanding jumlah miliaran rupiah yang dikorup.
Berbeda dengan pasal 362 KUHP, pasal UU PTPK ini pun penerapannya tidak sederhana. Sangat kompleks. Terkadang ada kendala prosedural (hukum acara) yang rentan untuk dipermainkan, dalam beberapa kasus malah tumpang tindih dengan tindak pidana lain. Sebab korupsi kerap dilihat tidak semata-mata adalah hukum, tapi dapat diseret masuk ke dalam ranah politik dan ekonomi.
Anggota DPR RI Drajat Hari Wibowo pernah memberikan peringatan kepada kejaksaan agar berhati-hati dalam menangani kasus-kasus korupsi (kredit macet), karena jenis kasus tersebut sebenarnya masih masuk domain UU Perbankan (Harian Kompas, 19 Juni 2006). Belum lagi jika berkaitan dengan UU Perpajakan, UU Kepabeanan, atau UU Pencucian Uang misalnya.

Wajar saja kalangan praktisi maupun teoritisi hukum sering dibuat bingung. Keadaan ini suka tidak suka mempermudah pelaku korupsi berkelit dari jeratan kejahatan yang dikategorikan white collar crime itu. Lalu di mana kemudian letak keseriusan perlidungan hukum terhadap para korbannya? Padahal dampak yang ditimbulkan atas kejahatan korupsi jauh lebih serius ketimbang korban pencurian.

Korban Korupsi

Siapa sebenarnya korban korupsi? Dalam berbagai literatur, dijelaskan bahwa korupsi berdampak multidimensional di hampir semua lini kehidupan, seperti dilukiskan antara lain sebagai berikut:

- Di dunia politik mempersulit demokrasi, tata pemerintahan yang baik, mengurangi akuntabilitas, pembentukan kebijaksanaan pro-penyuap, ketidakseimbangan pelayanan masyarakat;
- Di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum dan ketidakdilan;
- Di bidang ekonomi mempersulit pembangunan, membuat distorsi dan ketidakefisienan, meningkatkan ongkos niaga, pemindahan penananaman modal, membunuh perusahaan kecil.
Tegasnya, secara umum korupsi mengikis kemampuan institusional pemerintah, karena pengabaian prosedur dan penyedotan sumber daya. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan kepercayaan. Dalam bahasa sederhana, melumpuhkan sendi-sendi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Sebuah pemerintahan bahkan negara dapat hancur akibat kejahatan korupsi. Korbannya berjuta-juta orang, walau secara orang perorang masyarakat tidak merasakannya seketika, dibanding saat mereka menjadi korban pencurian.

Maka, membandingkan pencuri ayam yang diancam hukuman paling lama lima tahun (belum termasuk dikeroyok) dengan koruptor miliaran (bisa dipakai membeli sejuta ayam, bahkan lebih) yang dipidana 1 – 20 tahun, sesungguhnya merupakan cermin bagaimana hukum belum maksimal mengapresiasi korban.

Kalau ditimbang-timbang, kwalitas dan tingkat keseriusan korban pencurian tidak ada artinya dibanding korupsi. Tetapi risikonya tak berselisih jauh, terlebih peluang pelaku kasus korupsi untuk lolos dari sanksi penjara lebih terbuka lebar. Bedanya hanya persoalan yang satu pencuri tanpa dasi untuk menyambung hidup sehari-hari, yang lain pencuri berdasi untuk menikmati hidup berjuta-juta hari.

Adakah lantaran tak langsung dirasakan masyarakat, maka tingkat keseriusan untuk melindungi korban kejahatan korupsi nyaris terabaikan?

Dalam perpekstif viktimologi, pada prinsipnya negara berkewajiban menjamin rasa aman dan perlindungan bagi warga negaranya dalam berbagai aspek kehidupan[5]. Dalam konteks pidana korupsi ini, dapat ditafsirkan bahwa pemerintah menjadi turut andil dalam menimbulkan viktimisasi – meski tidak langsung – sebagai akibat perlakuan hukum terhadap kejahatan korupsi.

MAFIA


Hukum itu seperti sarang laba-laba, hanya bisa menjerat yang lemah
dan dapat dengan mudah dihancurkan oleh mereka yang kuat.


- Filsof Yunani, Plato (427 SM-347 SM)

KALAU mau jujur, penggambaran Plato ini tidak meleset dari realita keadilan hukum di Indonesia saat ini. Mereka yang kaya bisa membeli dan merekayasa hukum, sementara yang miskin menjadi bulan-bulanan.


Indeks Barometer Korupsi Global 2007 – merupakan hasil penelitian Gallup Internasional atas nama Transparency International Indonesia/TII tentang institusi paling korup di Indonesia -- menguatkan asumsi tersebut. Dari 14 instansi yang diteliti, polisi mendapat skor tertinggi, 4,2. Peringkat kedua terkorup adalah pengadilan dan parlemen (4,1), sementara peringkat ketiga “milik” partai politik (4,0).(Harian Kompas 7 Desember 2007)


Menurut Sekretaris Jenderal TII Rizal Malik, Barometer Korupsi Global adalah pendapat masyarakat terhadap korupsi dan catatan negara dari lembaga publik yang meminta suap. "Korban terbanyak dari praktik korupsi ini adalah orang miskin. Mereka yang tidak memberikan suap tak akan mendapatkan pelayanan yang baik," kata Rizal

Inilah fakta yang tidak dapat dipungkiri. Hukum sudah menjadi barang dagangan yang diperjual-belikan oleh para polisi, jaksa, dan hakim, dengan melibatkan pengacara. “Dengan membayar lebih banyak, Anda bisa memenangkan perkara meskipun salah dan membuat lawan Anda dipenjara.”

Korupnya sistem hukum Indonesia sudah ada sejak 1970-an dengan apa yang disebut “mafia hukum atau peradilan” di semua proses pencarian keadilan. Hal ini dapat diartikan bahwa empat komponen Sistem Peradilan Pidana (SPP) tidak ada yang tidak dijamah mafia peradilan. Baik di tingkat penyidikan (kepolisian), penuntutan (kejaksaan), penghukuman (pengadilan), maupun penjara (LP).

Mafia adalah panggilan kolektif untuk beberapa organisasi rahasia di Sisilia dan AS. Awalnya merupakan nama sebuah konfederasi orang-orang di Sisilia untuk tujuan perlindungan dan penegakan hukum sendiri (main hakim). Konfederasi ini kemudian mulai melakukan kejahatan terorganisir. Anggota mafia disebut mafioso, yang berarti "pria terhormat". Istilah mafia kini telah melebar hingga dapat merujuk kepada kelompok besar apapun yang melakukan kejahatan terorganisir. Tentu isitilah mafia dalam pengertian ini tidak sama persis dengan “mafia hukum” di Indonesia, karena lebih pada masalah suap menyuap.
Maka adalah menarik dalam kondisi wajah hukum centang perenang, polisi sebagai elemen terdepan dalam proses SPP, mencoba membenahi diri dengan meretas jalan untuk menciptakan paradigma baru kepolisian. Sebuah semangat yang patut dipuji, meski banyak pihak meragukan, mengingat sudah demikian kronisnya mafia hukum menggerogoti pilar-pilar SPP.

Paradigma baru polisi (baca:Polri) dimaksudkan sebagai bentuk adaptasi dengan segala perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang makin mengglobal. Polisi lalu melakukan penyesuaian dengan memodernisasi dan mereformasi diri melalui berbagai pemberdayaan, terutama perubahan pola pikir.

Salah satu yang dikedepankan adalah menciptakan polisi yang bermitra dengan masyarakat untuk melindungi, mengayomi dan menegakkan hukum melalui proses membebaskan polisi dari cara-cara kerja yang unpolice atau “tidak layak polisi” seperti, sewenang-wenang, otoriter, dan militeristik, menjadi polisi sipil yang partnership dan problem solving. Perubahan paradigma yang semula menitikberatkan pada pendekatan yang reaktif dan konvensional, menuju pendekatan yang proaktif dan mendapat dukungan publik.
Paradigma baru ini sekaligus sebagai kerangka mewujudkan jati diri ke dalam paradigma yang dikenal kemudian sebagai community policing (perpolisian komuniti) atau perpolisian masyarakat (polmas).

Tujuan community policing adalah membentuk polisi sipil dengan cara:

(1) Bersama-sama masyarakat mencari jalan keluar masalah keamanan sosial; (2) Berupaya mengurangi rasa ketakutan adanya gangguan kriminalitas; (3) Mengutamakan pencegahan kriminalitas; (4) Berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan memperbaiki dan menjaga hubungan polisi dengan masyarakat.Secara praktis, model community policing dapat dianalogikan bahwa posisi polisi setara dengan warga komuniti dalam membangun kemitraan untuk mencari solusi

Sabtu, 07 Juni 2008

KRIMINOGEN

SISTEM peradilan pidana (SPP) memiliki kesadaran bersifat unwelfare – rehabilitasi dan pengendalian -- guna mencapai tujuan welfare. Selain rasional, juga memahami dan memperhitungkan dampak sosial kemanusiaan. Secara operasional pun SPP mempunyai perangkat subsistem yang bekerja koheren, koordinatif dan integratif demi efisiensi dan efektivitas.

Sebagai bentuk subproses sosial, SPP tak lepas dari sifat kriminogen lantaran adanya praktik-praktik yang tidak konsisten, yang justru bisa “menciptakan” kejahatan. Sebuah tindak pidana bisa saja menjadi bukan tindak pidana atau sebaliknya. Persepsi masing-masing penegak hukum, profesionlisme, infrastruktur, budaya – bahkan kepentingan politik -- dapat membawa pandangan bahwa hukum adalah sebatas pembalasan semata. Penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap (pelaku) tindak pidana yang sama adalah kriminogen.
Dalam konteks kriminogen, dapat dicermati proses penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap penanganan kasus dugaan korupsi aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR yang melibatkan para pejabat dan pegawai bank sentral itu.

Aliran dana BI sebesar Rp100 miliar terungkap berawal dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikirim Ketua ಬ್ಪ್ಕ್ Anwar Nasution ke KPK, 14 November 2006. Dalam laporan itu disebutkan, rapat Dewan Gubernur BI pada 3 Juni 2003 memutuskan bahwa Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) menyediakan dana Rp100 miliar untuk dua keperluan.

Pertama, pencairan dana Rp68,5 miliar yang akan digunakan membantu proses hukum kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan lima mantan dewan gubernur dan mantan direksi BI, berdasarkan keputusan rapat Dewan Gubernur BI pada 22 Juli 2003. Dewan Gubernur BI saat itu adalah Burhanuddin Abdullah (Gubernur BI), Anwar Nasution (Deputi Gubernur Senior), dan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan, R Maulana Ibrahim, Maman H Somantri, Bun Bunan EJ Hutapea, dan Aslim Tadjuddin.

Dana untuk bantuan hukum diberikan kepada Soedrajad Djiwandono (mantan Gubernur BI), Iwan R Prawiranata (mantan Deputi Gubernur BI), Heru Soepratomo (mantan Deputi Gubernur BI), Hendrobudiyanto (mantan Direksi BI), dan Paul Sutopo (mantan Direksi BI). Mereka terjerat kasus BLBI, kredit ekspor, dan kasus lainnya sehubungan krisis ekonomi 1997-1998.

Kedua, sebesar Rp31,5 miliar diserahkan kepada Komisi IX DPR periode 1999-2004 untuk pembahasan dan diseminasi sejumlah UU tentang BI. Hasil audit menyebutkan dana untuk DPR dicairkan melalui tujuh cek yang dikeluarkan bertahap mulai 30 Juni hingga 8 Desember 2003.
Hasil audit BPK itu menunjukkan secara nyata bahwa telah terjadi gratifikasi dalam kasus aliran dana BI, karena sudah ditemukan pihak pemberi dan motivasi pemberian kepada para anggota DPR yang sedang melakukan revisi UU BI.

Apa yang diungkap BPK, memperjelas bahwa aliran dana BI yang merembes ke berbagai penjuru itu bukan inisiatif orang-perorang, melainkan keputuskan secara kolektif dalam rapat Dewan Gubernur BI. Bila kemudian KPK berkeyakinan bahwa kasus itu merugikan keuangan negara, tentu KPK bakal mendudukkan begitu banyak pejabat di kursi pesakitan.

Sayangnya, fakta berbicara lain. Sejauh ini cuma Gubernur BI Burhanuddin Abdullah yang terkena. Setelah menetapkan Burhan sebagai tersangka sejak awal 2008, KPK langsung menahan Gubernur BI yang sudah diganti itu.

Ada empat pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi – UU No. 20/2001 tentang perubahan atas UU No. 31/1999 yang bakal dibidikkan ke arah Burhan. Yakni:

- Pasal 2 ayat (1) UU No 31/1999:

… dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda … paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

- Pasal 3 UU No 31/1999:

… menyalahgunakan kewenangan… karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun … atau denda … paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

- Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 20/2000:

… pidana penjara … paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda … paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: (a) memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara …

- Pasal 8 UU No 20/2000:

… pidana penjara … paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda … paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri … dengan sengaja menggelapkan uang …. karena jabatannya …

Pasal-pasal di atas bukan main-main. Haruskah dihadapi oleh Burhan seorang? Lalu di mana para pejabat yang ikut memutuskan dan menyetujui Rapat Dewan Gubernur BI pada 3 Juni 2003 untuk mengeluarkan uang Rp 100 miliar dari YPPI. Mengapa mereka tidak kunjung ditahan juga? Di sinilah KPK tak konsisten dan sangat kentara melakukan praktik “tebang pilih”.

PESIMISTIS

Sikap learned helplessness merupakan kondisi seseorang yang sudah merasa tidak dapat merubah apa yang terjadi pada dirinya ke arah yang lebih baik karena dorongan rasa pesimistik. Sebenarnya orang tersebut mengerti, bahkan mengetahui cara mengubahnya, terkadang justru kondisi tersebut tanpa sengaja dinikmatinya.

Para korban yang dikategorikan learned helplessness umumnya merasa bersalah dan selalu berada dalam tekanan psikis, rendah diri, memikirkan dan teringat orang yang menyakitinya. Semacam traumatik yang berkepanjangan. Bantuan dari pihak lain cenderung ditolak.

Untuk mengatasi orang yang learned helplessness, diperlukan terapi psikologis dengan cara membangkitkan rasa rendah dirinya, menyadarkan bahwa posisinya sebagai korban bukanlah akibat dari kesalahannya, memotivasi agar mau bangkit untuk mengubah kehidupannya.

TAKUT

Fear adalah perasaan takut, cemas, dan kekhawatiran menjadi korban kejahatan. Victimization merupakan proses bagaimana sebuah tindak kejahatan yang mengakibatkan jatuhnya korban kejahatan.

Maka, hubungan antara fear dan victimization adalah bahwa sebuah viktimisasi dapat mengakibatkan orang lain yang melihatnya merasa ketakutan dan khawatir nasib serupa akan menimpa dirinya.

Perasaan takut itu akan semakin kuat manakala viktimisasi terjadi dalam tingkat frekwensi (kwantitas) dan kwalitas (brutalitas) kejahatan. Sehingga orang menjadi sangat protektif, hati-hati, melakukan usaha pencegahan agar terhindar dari “giliran” menjadi korban. Dalam taraf tertentu dapat menjadikan seseorang paranoid, mudah curiga terhadap orang lain.